Followers

Kamis, 23 Februari 2012

Danger! Moody Person in Here

Cup... Cup... Cupp
Back again. Okay, Now I will writting about people that always change their mood in many situation or we can say mood swinger (?). Arti mood sendiri yang aku simpulin dari berbagai sumber adalah sifat atau perbuatan seseorang yang dapat berubah karena beberapa faktor seperti, cuaca, suasana sekitar/lingkungan, maupun karena teman bermain. Mood swinger, itu orang yang mengerikan (menurutku). Mereka bisa tiba-tiba mengganti suasana hati mereka. Misalnya, yang awalnya senang banget tiba-tiba hanya karena sebuah insiden ketidaksengajaan dia berubah menjadi orang pemarah. Isssh.  
Aku tau mood seseorang itu tidak bisa dikontrol, dia bisa berubah karena faktor sekitar, tapi cobalah mengerti teman kalian. Mereka harus segera beradaptasi dengan cepat karena perubahan mood mu yang tiba-tiba. Saran nih buat yang punya teman mood swinger, kalian harus berusaha sabar, orang sabar itu disayang Tuhan, guys. Trus, kalo emang pas di jalan yang awalnya mood teman kamu baik terus tiba-tiba jadi buruk, buang aja ke parit (just kidding). Yah, intinya mah SABAR aja deh kalo ketemu mood swinger.
Read More...
separador

Selasa, 20 Desember 2011

Kok Bisa Sama, sih?!

Copycat. Adalah kata yang tepat untuk orang yang suka mengcopy orang lain baik itu karya musik, tulisan, seni, maupun lifestyle. Lifestyle? Kok bisa sih di copy? Siapa sih yang bilang kalau gaya hidup seseorang itu tak bisa di copy.
Gini deh, jika kalian mengidolakan seseorang pasti kalian berusaha untuk menirunya baik itu hairstyle, fashion, sampai kebiasaan yang dia punya. Ckckck. Kalo dipikir-pikir apa kalian tak punya kehidupan sendiri? Style hidup sendiri? Sampai-sampai harus mengikuti orang lain yang kalian idolakan. Okelah, kalau orang yang kalian tiru itu seorang idola tapi, gimana kalau orang yang kalian tiru itu merupakan teman dekat kalian sendiri dengan diam-diam. Kalian meniru cara bicara, fashion-nya, dan juga sampai hobinya pun kalian tiru. CKCKCK. What kind of people you are. I even can't think if it's really happen to my life. Your friend copying me and he/she don't know about it.
Aku benar-benar tak ingin menjadi orang yang seperti itu. Just be yourself. Confident to yourself. Trus, gimana kalau teman yang kalian tiru itu tiba-tiba nyadar dan menjauhi kalian. Berkurang deh, teman kalian satu lagi. Sedih kan? Bukankah teman itu lebih berharga daripada hal lain? So, Just believe to yourself.
Read More...
separador

Sabtu, 13 Agustus 2011

Kejutan di Angka Sial

Diah Eka Puteri

Senja hari yang teduh , Ririn, Dea, Gilang, Reisha, dan Vino sedang menikmati kue cokelat yang dibuat oleh Ibu Ririn di halaman belakang rumah Ririn. Sudah lama mereka tidak bertemu. Mungkin hampir lima tahun. Mereka berlima sudah bersahabat sejak kelas 1 SMA, tapi karena memiliki cita-cita yang berbeda, mereka harus berpisah untuk melanjutkan pendidikan masing-masing. Ririn yang mempunyai hobi menggambar manga mengambil kuliah di Jepang, tepatnya di Tokyo Polytechnic University. Lulus dari sana, dia sudah bisa menerbitkan tiga komik. Lalu, Dea yang terbiasa menyanyi di gereja dan sangat mengidolakan Mariah Carey masuk ke Cornish College of the Arts, yang terletak di Washington DC, Amerika Serikat. Gilang dengan keterampilannya di bidang IT masuk ke Nanyang Technological University, di Singapura. Lain halnya dengan Reisha dan Vino. Kakak-adik ini hanya bisa melanjutkan sekolah di Indonesia, karena keluarga mereka tidak mampu membiayai. Bukan seperti Dea, Ririn, dan Gilang yang mempunyai orangtua yang kaya, sekolah dimana pun yang mereka mau tidak jadi masalah.
“Lama banget, kita nggak ngumpul kayak gini. Muka kalian nggak berubah, ya. Masih ada panunya. Haha,” kata Gilang sambil mengunyah kue coklatnya.
“Sialan. Kau sendiri. Perutmu nggak kurus-kurus juga, masih gendut. Di sana nggak pernah olahraga, ya, Lang?” kata Ririn gemas dengan perkataan Gilang. Tentu saja perkataan Gilang tidak benar. Ririn, walaupun sering berada di kamarnya untuk menggambar manga, dia tidak akan lupa untuk ke salon saat hari libur kuliah. Selain itu, jika dosennya tidak datang mengajar, dia akan menggunakan waktu itu untuk ke salon langganannya. Jadi, tidak heran rambutnya sangat stylish, dan wajahnya tampak dewasa dengan riasan wajah yang tidak mencolok, seperti karakter manga yang dia gambar. Gilang yang gendut dengan humornya, tidak banyak berubah. Hanya saja, saat ini dia telah memakai kacamata. Ketika ditanya mengapa dia memakai kacamata, dia menjawab hanya untuk gaya-gayaan. Lalu si kembar Vino dan Reisha walaupun lahir dengan selisih waktu satu menit, tapi wajah mereka tidaklah mirip. Reisha sebagai kakak, memiliki wajah yang selalu ceria sedangkan, Vino memiliki wajah yang teduh seperti wajah orang yang sedang putus asa. Dea lah yang paling banyak berubah. Dulu dia memakai kacamata dan sering memakai baju norak. Sekarang, kacamata yang bertengger dihidungnya sudah tidak ada dan pakaian yang dipakainya sangat fashionable.
“Wah, Ea. Kacamatamu kemana sudah? “ tanya Reisha.
“Tuh dipakai Gilang. Saking kerennya tuh kacamata, dia merenggek sama aku buat dia pake. Haha,” gurau Dea.
“Eh, enak aja!” sergah Gilang. “Kacamata yang gede itu, kau bilang keren. Idih, dasar gak punya fesyen. Kacamataku ini dibuat dengan teknologi yang canggih, tau!” lanjut Gilang.
“Hu…” seru mereka bersamaan.
“Aduh… kalian ini, kok malah main ejek-ejekan, sih,” kata Bu Ririn, datang membawa minuman untuk mereka. “Ayo, diminum dulu es buah yang tante buat,”
“Tante, nggak berubah ya. Selalu buat makanan dan minuman yang enak,” puji Reisha.
“Ya iyalah. Kalau makanan dan minuman tante gak enak lagi, aku pasti nggak akan datang ke sini,” canda Gilang.
“Oh jadi gitu. Seharusnya, tadi aku nggak usah nelpon kamu untuk datang kesini. Lain kali nggak usah datang, ya kalau cuma minta makan, doang,” jawab Ririn kesal.
“Duh… jangan marah, dong. Tadi aku cuma bercanda, kok. Ririn yang cantik dan baik hati, maafin aku, ya,” kata Gilang sambil menunjukan muka imutnya agar Ririn memaafkannya.
“Huh, dasar kau ini. Jangan bercanda kayak gitu, dong.”
“Iya, iya. Maaf, deh,” seru Gilang.
Ririn yang sudah tidak marah lagi, meninggalkan tempat duduknya dan pergi ke toilet.
“Mumpung dia nggak ada, yok, kita diskusiin gimana caranya kita ngerjain dia. Kan bentar lagi hari ulang tahunnya,” seru Dea.
“Iya, nih. Bagusnya kita kerjain kayak mana, ya? Oh, gimana kalau kita nggak usah ajak dia bicara aja,” usul Gilang.
“Ah, basi banget. Yang lain dong?” tolak Reisha.
“Gimana kalau begini aja…” Vino yang sedari tadi diam tiba-tiba mengusulkan suatu ide yang benar-benar gila.
Hari ulang tahun Ririn tepat pada tanggal 13 Januari nanti. Menurut Ririn, angka tanggal lahirnya membawa sial. Saat dia ulang tahun ke-12 nya dirayakan di Hotel berbintang lima, tiba-tiba saja acara itu harus dibatalkan karena Neneknya yang berada di Kalimantan sakit keras dan terus memanggil nama Ayahnya. Kejadian buruk pun terjadi setiap ulang tahunnya ingin dirayakan. Itulah sebabnya, dia tidak ingin merayakan ulang tahunnya dengan skala besar seperti anak orang kaya kebanyakan. Begitu juga hari ini. Ya, hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-25. Pagi itu, dia berangkat ke kantor ayahnya untuk mulai bekerja di sana. Walau dia hanya mengenyam pendidikan tentang manga saja, tapi sebagai ahli waris dia juga harus bekerja di kantor Ayahnya, agar bisa melanjutkan bisnis semen yang ayahnya kerjakan. Selain itu, ibu Ririn menyuruhnya berangkat pagi sekali. Sesampainya disana, sekertaris ayahnya memperlihatkan tempat kerjanya. Ririn akan memulai pekerjaannya sebagai manajer keuangan.
Waktu sudah menunjukkan waktu 12 tepat. Ini saatnya bagi para pekerja kantoran untuk makan siang. Ririn yang masih baru dan tidak mengenal orang-orang di kantor ayahnya mengajak teman-temannya yang lain untuk makan siang. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Dea,
“Halo, Dea?”
“Ya, ini Dea. Kenapa, Rin?
“Makan siang, yuk!” ajak Ririn
“Maaf, Rin. Bukannya aku nggak mau tapi, hari ini keluargaku ada yang datang dari Bengkulu, jadi mau kangen-kangenan dulu,” tolak Ririn halus.
“Ya nggak apa-apa, kok.” Klik! Ririn mematikan ponselnya. Dia berpikir daripada menelpon mereka satu-satu lebih baik dia kirim pesan teks saja. La la la la. Suara pesan terdengar dari ponsel Ririn. Ternyata, semua teman-temannya menolak ajakan makan siangnya karena sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan sedikit kesal, dia akhirnya makan siang sendirian di restoran yang dekat dengan kantornya. Selesai makan, dia memulai pekerjaannya lagi.
Dia melihat jam tangannya. Jam empat. Lama juga aku duduk batinnya. Terdengar nada dering ponselnya berbunyi dari dalam tasnya. Dia segera mengambil dan mengangkatnya,
“Halo?”
“Halo, Rin? Gawat, nih. Gawat…”
“Ga… gawat kenapa, Vin?” tanya Ririn gugup. Tak biasanya Vino khawatir seperti ini. Walau ada kejadian mengerikan seperti apapun dia akan bersikap santai.
“Gilang, Rin. Gilang. Dia lagi ada di rumah sakit sekarang…” jawab Vino dengan nada khawatir.
“Kenapa dia, Vin?” kata Ririn ikut khawatir akan keadaan temannya itu.
“Udah, kau kesini aja. Kami sekarang ada di Rumah Sakit Sejahtera di ruang UGD,” jawab Vino
“Oke, oke. Aku segera kesana,” kata Ririn. Buru-buru dia segera meninggalkan kantor.
“Maaf, aku telat. Gimana keadaan Gilang, Ea?” tanya Ririn saat dia sampai di depan pintu ruang UGD.
“Kita nggak tahu, Rin. Dia lagi ada di ruang operasi sekarang. Sebenarnya, kami berdua mau beliin kamu kado. Tapi, waktu dia mau menyeberang tiba-tiba mobil datang dan menyerempet dia,” kata Dea dengan muka tegang.
“Jadi, dia ketabrak mobil karena mau beliin aku kado?”
“Hmm…” jawab mereka.
“Kenapa selalu saja ada kejadian buruk dihari ulang tahunku. Selalu saja membawa sial,” kata Ririn kesal.
”Percuma aja kamu menyalahkan dirimu,” kata Vino, dari tadi dia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD.
Mereka pun menunggu Gilang dioperasi. Muka mereka semua sangat tegang. Jam telah menunjukkan pukul 11.00.
“Rin, sebaiknya kamu pulang. Ini sudah larut malam,” kata Reisha.
“Tapi…”
“Betul. Nak Ririn sebaiknya pulang. Tante dan Om bisa jaga Gilang, kok,” potong ibu Gilang.
“Tapi tante, saya masih mau disini,” sergah Ririn
“Rin, lebih baik dengar kata Tante Lina,” kata Dea.
“Ya sudah. Saya pamit tante,” Ririn pun meninggalkan ruang UGD.
“Mission start,” kata Vino saat memastikan bahwa Ririn sudah pergi dari Rumah sakit tersebut.
Di jalan lagi-lagi Ririn terjebak macet. Hari ini benar-benar sial baginya. Setengah jam kemudian, dia sudah sampai di rumahnya. Ting tong. Dia pun membunyikan bel pintu. Bi Minah membukakannya pintu dan mempersilahkannya masuk. Kejadian hari ini membuatnya sangat capek. Rasanya ingin sekali menangis atas kejadian yang dialami Gilang. Di dalam hatinya, dia terus menyalahkan dirinya. Segera dia ke kamarnya untuk beristirahat dan berdoa agar Gilang bisa selamat. Saat dia membuka kamarnya… Pussh! Tepung jatuh dari atas dan menyirami dirinya.
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun
Selamat ulang tahun, Ririn. Selamat ulang tahun,” lagu Selamat Ulang Tahun pun terdengar dari dalam kamarnya. Ibunya yang sedang memegang kue, menyuruhnya untuk meniup lilin diatasnya. Phuuh…
“Yeah…” sorak mereka semua.
“Oh… Tuhan. Jadi, kalian ngerjain aku!” ucapnya kesal. Di lihatnya seluruh teman-temannya, tak terkecuali Gilang yang masih sehat.
“Jangan salahin aku, ya, Rin. Ide gila ini Vino yang buat,” kata Gilang saat dia tahu bahwa Ririn menatapnya.
“Oke. Tapi bagaimana caranya, kalian bisa sampai duluan daripada aku?” kata Ririn.
“Itu, mah gampang bagi seorang Dea. Sebenarnya mobil-mobil yang ada di depan dan belakang kamu itu mobil teman-temanku. Saat kamu lagi di dalam kemacetan itulah saatnya kami pergi kerumahmu dengan kecepatan penuh,” jelas Dea dengan bangganya.
“Wah, hebat juga ide kalian. Pantesan kalau dipikir-pikir lagi nggak mungkin ada pasien gawat darurat sampai berjam-jam dioperasi. Palingan cuma tiga jam paling lama,” kata Ririn.
“Hehe. Untung aja aku dibolehkan pake ruang itu sama pak kepala. Tapi, sebenarnya itu bukan ruang UGD, loh. Hanya saja dulu pernah dijadikan ruang UGD,” jelas Vino. Dalam hati, dia sangat berterima kasih kepada kepala rumah sakit dimana dia bekerja. Kalau bukan karena dia idenya ini tidak akan bisa direalisasikan.
“Sudah, sudah. Yok, kita makan kue aja,” kata ibu Ririn.
“Oke. Ayo, semua, kita makan!” ucap Gilang semangat.
“Haha…” mereka semua tertawa melihat tingkah gilang yang bersemangat. Mereka segera turun ke ruang makan dan disana tersedia berbagai makanan yang enak.
“Rin, boleh tahu harapan kamu tadi apa waktu mau niup lilin?” tanya Reisha penasaran
“Mau tau aja,” kata Ririn sembari berlalu.
Harapan yang tadi kuucapin adalah kita akan selalu bersama dan tidak akan berpisah lagi seperti dulu. Tapi, jika Tuhan memisahkan kita, aku berharap yang berpisah hanya raga kita bukan hati kita. Batin Ririn.
Read More...
separador

Detektif Kusuma Bangsa

Karya: Diah Eka Puteri

“Sial!” kesal Leo.
“Ada apa, sih? Pagi-pagi kok udah marah?” sahut Bimo.
“Gimana gak marah coba, kalo setiap hari ada aja barangku yang hilang. Kemarin kotak pensil, sekarang buku catatan, terus besok apa? Tasku?” Beberapa hari ini barang Leo selalu saja hilang mulai dari pensil sampai kotak pensilnya. Dia ingin sekali memukul orang yang mencuri barang-barangnya itu. Apa mereka tak punya uang untuk membelinya.
“Udah, diikhlasin aja, Eo,” ujar Bimo. “Paling fans-fansmu bakalan ngasih hadiah yang kayak gitu,” ucap Bimo. Dia tahu sahabatnya itu adalah idola para cewek di SMA Kusuma Bangsa maupun di luar sekolah. Itu karena Leo memiliki wajah tampan seperti aktor sinetron, badan tegap, dan seorang atlet kebanggaan sekolah.
“Kamu benar juga, Mo. Nanti aku liat lokerku dulu sebelum pulang sekolah, siapa tau ada hadiah bagus dari mereka. Maklum aku belum pernah buka lokerku dari seminggu yang lalu,” kata Leo sambil menyibakkan rambutnya karena diterpa angin pagi dari jendela kelas mereka.
***
“Ahhhh… Leo!” teriak siswi-siswi yang sedang melihat Leo melakukan pemanasan sebelum berlari. Sore itu seharusnya dia bisa pulang cepat dan melihat lokernya, tetapi Pak Anwar, pelatihnya menyuruh dia untuk latihan karena sebentar lagi lomba lari antarsekolah dimulai.
“Aduh, Leo kenapa catatan waktu kau mulai lambat, hah?” tegur Pak Anwar dengan aksen bataknya.
“Maaf, Pak akhir-akhir ini saya banyak masalah,” kata Leo.
“Alamak, masalah kau jangan dibawa-bawa kesini. Fokus, nak. Fokus,”
“Siap, pak” ujar Leo tegas. Dia mulai memikirkan kotak pensilnya yang hilang lagi. Bukannya dia tidak punya uang untuk membeli baru, tapi di dalam kotak pensil itu ada barangnya yang sangat berharga. Barang yang tidak bisa dibeli dengan uang. Itu adalah kalung dari Ayahnya yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Kalung itu adalah amanat terakhir
yang harus dijaga setelah ibunya. Dia tak ingin kalung itu dijual oleh si pencuri. Makanya, sebelum pencuri itu menjualnya, dia harus mendapatkan kotak pensil itu kembali. Tapi bagaimana caranya? Leo benar-benar bingung.
Priiittt…
Latihan lari pun dimulai. Bimo mulai mengambil posisi start jongkok.
“Bersedia. Siap. Ya!”
Bimo mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari. Dia harus fokus kalau ingin menang dan membanggakan sekolahnya. Sementara itu, dari tepi lapangan para siswi SMA Kusuma Bangsa berteriak histeris melihat aksi Leo.
“Leo… Leo… Leo,” teriak mereka memberi semangat. Tapi dari semua siswi itu ada satu orang yang tak sehisteris mereka. Dia hanya melihat Leo dengan tatapan memuja.
“Wi, kau kesambet, kah? Sore-sore begini gak boleh melamun, kali” ujar Intan. Siswi yang bernama Dewi itu melirik Intan dengan sebal.
“Siapa juga yang melamun? Aku ‘kan lagi melihat pangeranku,” ucap Dewi sembari menatap Leo yang sudah menyelesaikan larinya. Intan hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Dewi.
“Yok, Tan. Aku mau ke toilet untuk menyisir rambutku. Poniku kayaknya udah mulai berantakan nih,” ajak Dewi. Dia tidak ingin penampilannya jelek apalagi di depan Leo, sang Pangeran pujaannya. Pokoknya, dia harus terlihat cantik.
“Udah cantik, kok,” ujar Intan seperti tahu apa yang dipikirkan Dewi.
***
“Hah… hah… hah…” Leo segera mengatur napasnya kembali setelah berlari tadi.
“Baik, latihan hari ini kita akhir dulu, anak-anak. Jangan lupa besok kita bertemu lagi disini. Dan kau Leo, fokuslah untuk lomba minggu depan. Selamat sore,” kata Pak Anwar. Beliau segera meninggkalkan lapangan. Leo sangat lelah hari ini. Dia lalu buru-buru ke toilet untuk berganti baju. Tiba-tiba dia memikirkan kalungnya lagi. Saat ingin pergi ke tempat lokernya, dia berpapasan dengan Bimo.
“Hey, Leo. Gimana latihannya?” ujar Bimo.
“Catatan waktuku mulai turun lagi, Mo. Ekskul Biologimu udah selesai?” kata Leo sambil merapikan baju seragamnya.
“Sudah. Sekarang, kau mau kemana?”
“Mau ngelihat lokerku dulu. Ikut?” tanya Leo.
“Oke. Yok,” Mereka pun pergi bersama-sama.
Selama perjalanan menuju loker Leo, mereka berbicara masalah kotak pensil Leo yang hilang.
“Aku tahu, kamu lagi sedih karena udah hilangin kotak pensil itu, kan?” tanya Bimo. Leo hanya diam saja. Dia pernah menceritakan masalah kalung ayahnya yang disimpannya di dalam kotak pensil itu.
“Aku ada solusinya, kok,” ucapan Bimo itu membuat Leo berhenti berjalan. Dia menatap Bimo bingung. Melihat temannya yang bingung, Bimo segera mengambil selembaran kertas dari dalam tasnya. Kertas itu bukan hanya sekedar kertas polos, terdapat tulisan dan gambar seperti kertas iklan yang sering diedarkan oleh pekerja toko swalayan. Kertas itu terdapat gambar kaca pembesar dan topi yang sering digunakan oleh detektif. Selain itu, terdapat tulisan yang berkata “APA KALIAN SEDANG MEMPUNYAI MASALAH? PENCURIAN? PENGUNTITAN? ATAU HAL LAIN YANG BERHAWA KRIMINALITAS? SILAHKAN HUBUNGI KAMI DETEKTIF KUSUMA BANGSA YANG AKAN SELALU MEMBELA KEBENARAN DI NO. TLP 085632866788 ATAU KE KELAS XI IPA 3”.
“Kau yakin ini bakalan berhasil,” ucap Leo ragu. Bimo sebenarnya juga ragu akan Detektif Kusuma Bangsa tersebut, tapi dari apa yang didengarnya, detektif tersebut sudah memecahkan kasus penguntitan yang terjadi di sekolahnya.
“Udah, coba aja dulu. Siapa tahu berhasil?” ujar Bimo menyakinkan Leo. Setelah ia menimbang dan berpikir beberapa saat, akhirnya ia menyetujui ide Bimo.
“Kalau begitu besok kita akan ke kelas mereka. Dan sekarang, kita harus ke tempat lokermu. Ayo!” mereka pun segera pergi.
***
Leo dan Bimo masuk ke kelas XI IPA 3. Siswi di kelas itu pun menjerit melihat Leo ada di kelas mereka. Bimo bertanya kepada salah satu temannya dimana Detektif Kusuma Bangsa.
“Itu, disana,” ucap teman mereka itu sambil menunjuk ke salah satu meja yang berada di pojok belakang.
“Thanks, bro,” ujar Bimo. Mereka mendekati bangku tersebut. Disana ada tiga orang cowok yang terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Cowok berambut klimis dengan poni lempar lembingnya terlihat seperti ketua mereka, karena dia paling banyak bicara.
“Permisi. Apa kalian Detektif Kusuma Bangsa?” tanya Leo pada mereka. Cowok yang terlihat seperti ketua itu berdiri dan memperhatikan Leo dengan seksama.
“Iya, kami Detektif Kusuma Bangsa. Ada keperluan apa?” tanyanya.
“Aku Leo dan ini temanku Bimo. Aku yang tadi malam menelponmu. Kau ingat?” ucap Leo sambil menjulurkan tangannya. Cowok itu segera menyalami tangan Leo,
“Oh, ya, ya. Aku ingat. Namaku Jo. Aku ketua dalam grup detektif ini. Mereka berdua adalah teman-temanku yang selalu membantu jika aku kesusahan. Yang ini namanya Soni,” sambil memegang bahu seorang cowok bertubuh gendut dan rambut acak-acakan. “Lalu ini Rio,” sambil menunjuk cowok kurus tinggi dan berambut sama seperti Jo. “Kami akan membantumu untuk mencari kotak pensil yang hilang tersebut. Kami sepakat sepulang sekolah ini akan ke TKP, dan terserah kau apakah ingin ikut bersama kami untuk menyelidiki atau tidak,” ucap Jo.
“Sepulang sekolah ini, ya? Sepertinya aku tak bisa ikut karena aku ada latihan lari, bagaimana kalau kamu saja Bimo? Hari ini kau tidak ada ekskul kan?” ujar Leo. Ia berharap temannya akan membantu untuk menemukan kotak pensilnya yang hilang.
“Oke deh. Nanti kita bertemu di kelasku, XI IPA 1 sepulang sekolah nanti,” setuju Bimo.
Teng… teng… teng…
Bel berbunyi tanda masuk kelas. Bimo dan Leo segera ke kelas mereka untuk memulai pelajaran pertama. Masalah Leo yang kehilangan kotak pensil pun menjadi buah bibir dikalangan siswi-siswi SMA Kusuma Bangsa. Ada yang mencibir Leo karena kenapa harus mencari kotak pensil yang murahan seperti itu. Ada juga yang menganggap Leo imut karena menggunakan kotak pensil dan menebak-nebak kotak pensilnya berwarna apa.
Jam sekolah telah berakhir. Bimo, Jo, Soni, dan Rio pun bertemu di kelas XI IPA 1 untuk menyelidiki tempat hilangnya kotak pensil Leo. Mereka mulai memeriksa meja Leo termasuk lacinya. Selain itu, mereka juga memeriksa meja-meja di sekitar bangku Leo.
“Untuk apa kalian memeriksa meja-meja yang lain? Bukannya kotak pensil Leo hilang di laci mejanya,” kata Bimo bingung melihat mereka memeriksa meja yang lain.
“Ya, siapa tahu saja ada yang menukar meja Leo dengan meja mereka dan kotak pensil itu terbawa tanpa mereka ketahui,” kata Soni melihat laci meja yang berada di depan kanan meja Leo. Hmmm… mereka benar juga kenapa tak terpikirkan olehku ucap Bimo dalam hati. Setelah memeriksa semua meja, hasil yang mereka dapatkan adalah nihil. Atas usul Jo mereka pergi ke kantor Satpam untuk bertanya siapa saja yang berada di sekolah saat kotak pensil Leo hilang. Leo meninggalkan kotak pensilnya di bawah meja saat pulang sekolah dimana tidak ada lagi orang disekolah, kecuali Pak satpam. Otomatis, ada yang kembali ke sekolah untuk mengambil kotak pensil tersebut.
“Jadi, siapa saja yang kembali ke sekolah saat itu, Pak?” tanya Rio saat berada di kantor satpam.
“Kalau tidak salah ada tiga orang yang kembali ke sekolah sore itu. Yang pertama namanya…” Pak satpam itu membuka buku tamunya. “Ah, namanya Gilang kelas X-4, Dewi XI IPS 1, dan Rina kelas X-1. Mereka bilang, mereka ingin mengambil barang yang tertinggal di kelas,” jelas satpam itu. Jo segera menyuruh Rio untuk memanggil mereka bertiga.
***
Sementara itu, Leo harus latihan lari demi meningkatkan catatan waktunya. Tetapi, dia tak bisa fokus dan terus memikirkan kalung ayahnya. Karena hal itu, dia tidak melihat kalau dia sudah melewati garis finish dan terus berlari. Tiba-tiba saja dia tersandung batu dan terjatuh.
“Akh…” keluhnya. Lututnya mengucurkan darah segar. Pak Anwar dan teman-temannya segera menghampiri dan membawanya ke UKS. Siswi yang melihatnya, khawatir dengan keadaan Leo. Mereka mengikuti Pak Anwar untuk memastikan keadaan Leo.
“Yang tidak berkepentingan tolong bubar. Sesak sekali lah disini,” kata Pak Anwar menyuruh mereka bubar. Meraka menggerutu karena tak dibolehkan melihat keadaan Leo.
***
Gilang, Dewi dan Rina telah berkumpul di ruang kelas XI IPA 1. Mereka bingung karena panggilan Rio
“Ada apa, sih, detektif?” tanya Dewi kesal. Bagaimana tidak kesal, saat Leo sang pangeran pujaannya sedang sakit dia harus berada di kelas Leo. Harusnya kan dia merawat Leo yang sakit.
“Oke. Maaf mengganggu waktu kalian, tapi kami harus menyelesaikan kasus yang baru kami terima dari Leo. Dan kasus ini berhubungan dengan kalian bertiga. Jadi, kalian harus menjawab dengan sejujur-jujurnya,” ujar Jo dengan tegas.
“Maaf, apakah aku mengganggu penyelidikan kalian,” tiba-tiba terdengar suara dari pintu kelas. Suara itu adalah suara Leo. Dia datang kesini dengan kaki yang sudah diberi pembalut luka.
“Kamu kenapa, Eo?” tanya Bimo khawatir. Sementara itu, Dewi dan Rina melihatnya dengan tatapan khawatir sekaligus kagum.
“Tadi habis jatuh. Gak apa-apa kok. Lebih baik kalian melanjutkan penyelidikan kalian,” ujar Leo, dia pun duduk di bangku dekat dengan Bimo.
“Oke, kita lanjutkan. Sebutkan nama kalian dan apa yang kalian lakukan saat kembali ke sekolah sore kemarin lusa? Mulai dari kamu,” kata Jo sambil menunjuk Gilang.
“Namaku Gilang Saputra kelas X-4. Waktu itu aku mau ambil raket badmintonku yang ketinggalan di kelas. Tapi, ternyata raket itu ada di lokerku,” kata Gilang dengan santai.
“Namaku Dewi Minamosa Radian kelas XI IPS 1. Aku ke sekolah mau mengambil cerminku yang ketinggalan di lokerku. Boleh kan?” ucap Dewi sambil menyibakkan poninya ke samping.
“Ya… ya… boleh. Selanjutnya,” kata Jo menunjukkan Rina.
“Namaku Marina dipanggil Rina kelas X-1. Aku mau mengambil jaketku yang ketinggalan di kelas,” ucap Rina.
“Rio, kamu ke kantor satpam tadi dan menanyakan kebenaran perkataan mereka tadi,” suruh Jo. Rio segera pergi menemui satpam tadi dan mengatakan semua perkataan mereka tadi.
“Dari mereka bertiga ada yang berbohong, sebenarnya…” pak satpam itu menjelaskan kejadian sebenarnya.
***
Rio pun kembali dan membisikan perkataan satpam itu pada Jo. Jo hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti,
“Baik, aku sudah mengetahui siapa pelakunya,” perkataaan Jo membuat kaget mereka semua. “Diantara kalian bertiga ada yang berbohong tentang barang yang tertinggal itu. Gilang, barangmu yang tertinggal adalah raket badminton. Raket itu cukup besar jadi kau tak bisa menyimpannya di tas, jadi, saat keluar dari sekolah kau terpaksa menentengnya. Rina, barangmu yang tertinggal adalah jaket. Satpam tadi mengatakan bahwa saat kau masuk ke sekolah kau tidak memakai jaket, tetapi saat keluar sekolah kau sudah memakai jaket. Dan terakhir Dewi,” Jo menghentikan ucapannya untuk sementara waktu untuk menarik napas.
“Barangmu yang tertinggal adalah cermin yang bisa dimasukkan ke dalam tas. Menurut, pak satpam saat kau ke sekolah kau sudah membawa cermin ditanganmu. Jadi kaulah pelakunya!” ucap Jo menggelegar.
“A,apa? Kau tak punya bukti untuk menuduhku. Siapa tahu satpam itu hanya berbohong,” kata Dewi dengan sedikit raut wajah marah.
“Siapa bilang kami tak punya bukti. Apakah kau tak tahu kalau ada CCTV yang terpasang di gerbang sekolah? Dengan itu kami akan mencari rekaman saat kau kembali ke sekolah kemarin lusa,” kata Jo dengan senyum penuh kemenangannya.
“Ma, masa’ sih ada CCTV? Oke kalau gitu aku mengaku, kalau aku yang mengambil barang-barang Leo akhir-akhir ini.Leo maafin aku ya. Kumohon,” mohon Dewi pada Leo. Leo akhirnya senang karena dia bisa menemukan orang yang telah mengambil kotak pensilnya.
“Aku akan maafin kamu, kalau kamu kembaliin kotak pensilku beserta isi-isinya. Lagian ngapain, sih, kamu mengambil barang-barangku?,” kata Leo.
“Tenang aja kok, aku gak pernah mengambil isi yang ada di kotak pensil kamu. Sebenarnya, aku mengambil kotak pensil kamu karena aku nge-fans banget sama kamu. Jadi aku juga pengen punya barang seperti punyamu. Maaf ya, Leo” kata Dewi malu.
Dewi pun mengembalikan semua barang yang telah di ambilnya dari laci maupun loker Leo. Tak disangka ada sekitar 10 barang yang dia ambil. Akhir-akhir ini Dewi tahu ternyata di gerbang sekolah tidak dipasangi CCTV, para detektif itu membohongi Dewi agar kasus mereka selesai. Sedangkan Leo, dia akhirnya memenangkan lomba lari antarsekolah tersebut. Itu membuat Pak Anwar bangga padanya. Saat penyerahan trofi, terlihat dia sedang memakai kalung berliontin huruf L dari ayahnya.
Read More...
separador

Piano yang berdenting

Diah Eka Puteri

Tinu ni nu ni nu… sirene ambulans dan mobil pemadam kebakaran mulai terdengar dari arah barat jalan, seorang gadis remaja yang mendengarnya hanya bisa terdiam di dekat jalan yang ramai akan orang – orang sekitar. Dia mulai sadar bahwa dia hanya sendirian berdiri. Dimana ibunya? Dimana ayahnya? Dia melihat sekelilingnya, tapi yang ada hanya orang – orang yang tidak dikenalnya.
Tiba – tiba terdengar suara laki – laki dari sebuah rumah yang terbakar yang berdekatan dengan gadis itu. “pergilah dari situ, lindungi dirimu”.
Gadis itu melihat laki – laki yang sedang berbicara padanya. Wajah orang itu sudah tidak asing baginya yaitu dengan kerutan di bagian dahi wajahnya yang tua.
“lalu, bagaimana dengan ayah? Bagaimana dengan buku – buku itu? Aku ingin mengambilnya.”
“jangan! Kamu pergilah mencari bantuan, biar Ayah yang mengambil buku lagumu yang berharga itu..” kata laki – laki itu. Setelah itu dia menghilang oleh reruntuhan api.
“Tidak…. Ayah!” jerit gadis itu.
***
“Hana, apa yang kau lakukan di sana? Ayo cepat, nanti kita akan ketinggalan bus.” Kata seorang wanita tua yang kira – kira berumur 30 tahun. Gadis remaja yang berumur 16 tahun itu, hanya diam sambil melihat abu - abu yang berterbangan. Abu - abu itu berasal dari tempat yang dulu dia tinggali bersama keluarganya. Tempat dimana dia mendentingkan suara - suara piano yang indah dan merdu. Tapi, tempat dan piano itu harus menghilang bersama abu karena kebakaran yang terjadi kemarin malam. Mengingat itu semua, Hana hanya bisa diam karena dia sudah capek untuk menangis. Piano yang selalu menemaninya harus pergi bersama dengan Ayahnya. Ibunya tiba – tiba mengagetkannya,
, “Ayo, kita tak punya banyak waktu.” Hana segera mengambil tasnya dan meninggalkan tempat itu, dia ingin sekali melupakan semua kenangan yang ada di tempat itu. Dan juga melupakan impian – impiannya.***
Pagi hari yang cerah, Hana terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia segera mandi dan memakai seragam sekolahnya yang baru, sekarang dia bersekolah di SMA 135 Bekasi dan tinggal bersama Bibinya. Sedangkan, Ibunya harus tinggal di Jakarta karena dia bekerja sebagai salah satu karyawan di sebuah perusahaan di sana. Setelah selesai menggunakan seragam putih abu – abunya, dia menyisir rambutnya yang panjang dan mengikatnya, dia lalu membereskan tempat tidurnya dan segera menyiapkan sarapan untuk Bibi dan sepupu laki – lakinya.
“sarapannya udah siap, ya?” kata Dion. Hana tidak menjawab, dia tidak pernah berbicara dengan Dion, tetapi Dion selalu mengajaknya bicara walau akhirnya tak ada jawaban sama sekali dari orang yang diajak bicara. Bibi Anti juga sudah berada di meja makan, mereka pun sarapan dalam diam. Setelah selesai sarapan Hana dan Dion pergi bersama ke sekolah dengan berjalan kaki. Letak SMA 135 tidak jauh dari rumah Dion hanya sekitar 400 meter dari rumahnya.
SMA 135 Bekasi adalah sekolah yang sangat mengutamakan kualitas, Hana bisa masuk ke sekolah itu karena beasiswa yang dia dapat. Sebenarnya Hana bisa saja masuk sekolah itu tanpa beasiswa karena Bibinya pasti akan membayar biaya sekolahnya, tetapi dia tidak ingin merepotkan Bibi Anti terus. Hari ini Hana akan melakukan memperkenalkan dirinya kepada teman - teman barunya seperti yang biasa dilakukan sebagai murid baru. Dia masuk ke kelas bersama wali kelasnya, yaitu wali kelas XII IPA 2, Pak Ranggo. Anak kelas XII IPA 2 yang mulanya ribut, tiba – tiba diam ketika Pak Ranggo masuk.
“selamat pagi anak – anak, Bapak akan memperkenalkan kepada kalian anak baru. Dia ini pindahan dari Jakarta. Ayo, perkenalkan dirimu!” kata Pak Ranggo sambil mempersilahkan Hana. Hana pun berdiri di depan kelas dan berkata
“namaku Hana Gensha, senang bertemu kalian”. Anak kelas XII IPA 2 sangat senang karena ada anak baru yang masuk di kelas mereka setelah 1 bulan kelas mereka hanya ada 29 siswa, jadi jika ada pembagian kelompok pasti ada saja yang tidak mendapat kelompok.
“Baiklah Hana, kamu boleh duduk sekarang di samping Lisa.” Kata Pak Ranggo sambil menunjuk tempat duduk Hana. Pelajaran pertama ini diawalinya dengan lamunan dan Pak Ranggo tidak ingin menegurnya karena dia tahu apa yang pernah terjadi pada Hana dulu.
Bel berbunyi, Dion mendatangi kelas Hana dengan membawakan beberapa makanan ringan dan minuman bersoda. “ini untukmu, ayo makanlah” kata Dion sembari memberikan makanan ringan dan minuman itu, Hana pun menerimanya dan tersenyum kepada Dion. Mereka pun makan dalam diam. Siswi kelas XII IPA 2 yang melihat Dion memberikan makanan dan minuman kepada Hana sangat marah dan cemburu kepada Hana. Maklum Dion adalah siswa yang terkenal keren di kalangan siswi – siswi SMA 135 Bekasi.
huh, enaknya si Hana di kasih minuman dan makanan sama si Dion. Iri deh.” Kata Marisa, salah satu siswi kelas XII IPA 3. Sebenarnya Hana mendengar apa yang dikatakan Marisa tapi dia hanya cuek. Di sekolahnya yang baru ini dia tidak ingin mencari musuh dan juga tidak ingin mencari teman, dia hanya ingin sendiri. Ting tong… bel masuk pun berbunyi, “nanti kita sama – sama pulang ya.” Kata Dion.
“tidak, kau pulang sendiri saja nanti,” jawab Hana.
“kenapa? Apa kau merasa terganggu jika pulang denganku?” Tanya Dion
“aku tak ingin melihat fans – fansmu cemburu melihat kau dan aku pulang bersama.”
“haha… kau ini jangan mendengarkan mereka. Nanti aku akan kesini menjemputmu pulang. Ok.” Dion pun pergi
Hana tidak menggubrisnya, dasar anak aneh kata Hana dalam hati. Dia tersenyum melihat Dion pergi dari kelasnya. Setelah itu Pak Surya, guru kimia yang terkenal galak masuk dan mengadakan tes dadakan.
***
Beberapa bulan sudah dilewatinya bersama Bibi Anti, Dion dan teman – temannya. Tapi, hatinya masih sama saja waktu pertama dia bertemu mereka semua, kesedihan. Hari itu adalah hari minggu. Biasanya, di hari Minggu anak – anak muda banyak melewatkan harinya dengan bersenang – senang dengan pergi ke mall, taman ria, maupun bioskop, tapi hari itu cuaca sangat tidak mendukung untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan di luar rumah. Hujan gerimis turun sejak pagi membuat orang yang tidur di tempat tidurnya menarik selimutnya sehingga mereka dapat terus tidur dengan nyaman. Karena hal ini juga banyak orang yang akan terlambat bangun. Tak terkecuali Dion. Hari itu Dion bangun jam 10 pagi, hujan saat itu sudah mulai reda. Dia segera mandi dan membereskan tempat tidurnya. Perutnya mulai terasa lapar, dia segera pergi ke meja makan untuk sarapan. Di atas meja sudah tersedia nasi goreng dengan telur mata sapi serta segelas jus jeruk. Hmm ini baru enak, kata Dion dalam hati.
“Ma, Hana dimana?”
“gak tau. Dia bangunnya pagi banget. Tadi mama lihat dia ada di teras rumah melamun. Mungkin dia lagi di ruang kelurga nonton tv, kan biasanya dia nonton kalau jam segini.” Jawab Mama Dion dari halaman belakang. Dia sedang asyik menyirami tanaman – tanaman koleksinya, yang mungkin harganya sudah mencapai belasan juta.
“oh, ya udah.” Setelah menyelesaikan sarapan yang tidak bisa dibilang pagi itu, Dion segera ke ruang keluarga, dilihatnya Hana sedang menonton. Tapi setelah dilihat sekali lagi, ternyata Hana tidak sedang menonton tv, melainkan matanya menerawang ke atas dengan muka yang tanpa ekspresi alias melamun. Dion pun ingin mengagetinya, tapi dia takut akan dimarahi olehnya. Karena jika Hana marah, tiba – tiba saja di sekelilingnya akan terasa horror. Sebelum Dion mengagetinya, Hana sudah melihatnya dan menyuruhnya duduk disampingnya.
“kau pasti ingin mengagetiku, kan?! Dasar kau. Oh ya apakah di sekitar sini tidak ada tempat yang tenang?” Tanya Hana.
“kurasa ada. Di dekat sini ada taman yang rindang. Mau coba kesana?” piker Dion.
“boleh. Sekarang aja ya.”
“Apakah ini ajakan kencan?” goda Dion.
“heh… tentu saja bukan. Kalau kau tak mau juga tidak apa – apa kok. Aku bisa bertanya pada Bibi dimana taman itu.”
“ya ya, aku ‘kan hanya bercanda. Lagipula mamaku tidak tahu dimana taman itu. Itu taman rahasia yang aku temukan waktu SMP.” Jawab Dion
“taman apaan sih? Mama juga pengen tahu.” sahut Bibi Anti yang baru datang dari taman belakang.
“bukan apa – apa kok, Bi”
“bukan apa – apa kok, Ma” jawab Hana dan Dion bersamaan.
“ih… sudah akrab ni ye… hahaha” goda Bibi Anti.
Akhirnya mereka pun berpamitan kepada Bibi Anti dan pergi ke taman rahasia Dion.
***
“wow. Ini keren banget. Dan… dan udaranya. Hmmm segar sekali.” Jawab Hana yang sedari tadi terkagum – kagum dengan taman rahasia Dion.
“oh… tentu siapa dulu yang nemuin, Dion. Di sini udaranya segar kalau habis hujan. Dan satu lagi, pemandangan dari atas gunung ini, benar – benar indah banget” kata Dion sambil membangga – banggakan taman yang dia rahasiakan itu sejak SMP.
“waktu SMP aku sering banget kesini. Habis pulang sekolah, habis dimarahi mama, atau habis dipukulin teman, aku pasti kesini. Kau juga pastinya tahu kan kalau rumah tangga orang tuaku nggak harmonis, jadi kalau mereka bertengkar di rumah, aku bakal lari kesini. Nggak peduli mereka mau marah sama aku nantinya” kata Dion mengingat masa lalunya.
“kenapa?” Tanya Hana.
Dion bingung dengan pertanyaan Hana. “maksudnya?”
“kenapa… kenapa kau begitu menyukai tempat ini? Pasti ada sesuatu yang lain yang membuatmu menyukai tempat ini” jelas Hana.
“hmm… sepertinya kau dapat membaca pikiran orang. Ya, seperti yang kau tahu tempat ini benar – benar indah dengan ada jembatan di atas sungai yang baru kita lalui tadi. Pohon – pohon yang hijau, udara yang segar, dan suara burung yang berkicau. Dan yang membuatku tambah kagum lagi dari tempat ini adalah dari atas gunung yang tinggi ini kita bisa melihat semua rumah orang dari sini. Tapi, bukan karena itu saja, aku punya kenangan manis di sini, bersama pacarku waktu SMA kelas X. Dia benar – benar cewek yang ceria, dan senyumannya membuat hidupku terasa lebih nyaman” kata Dion sambil tersenyum.
“jadi aku bukan cewek pertama yang kau ajak kesini?” tanya Hana dengan nada sedikit cemburu.
“memang kenapa? Kau cemburu, ya? Hehe” goda Dion sambil melihat muka Hana.
“hah… untuk apa cemburu. Memang kau siapaku?” kata Hana, mukanya menjadi merah mendengar kata – kata Dion.
“haha mukamu merah tuh. Sudah ah, semua ceritaku tadi bohong kok. Sebenarnya aku belum pernah pacaran. Aku kesini karena aku suka dengan pemandangannya.”
“dasar kau pembohong. Sini kau, biar kuhajar.” Kata Hana.
Mereka berdua pun berkejar – kejaran. Tiba – tiba terdengar sayup – sayup suara piano yang indah dan merdu dari kejauhan.
When you forget me
When you don’t remember my name
Not even a memory
Somewhere in the back of my brain
I won’t be offended
Cause I’ll always know that the day
Will come when I’m not enough to make you stay…
Lagu “Falling Stars” dari David Archuleta itu menjadi lembut di telinga pendengar dengan dentingan piano itu.
“oh ya, aku juga suka tempat ini karena setiap aku datang kesini, pasti ada suara piano yang merdu dari rumah yang ada di dekat jembatan yang kita lalui tadi” jawab Dion.
Hana berhenti mengejar Dion dan mulai memejamkan matanya. Dia pun mendengar dentingan piano – piano itu. Dion melihat Hana dan bertanya,
“ada apa? Apa kau baik – baik saja.”
“ngg… aku tak apa – apa, tapi suara piano ini, benar – benar suara yang aku rindukan” jawab Hana. Sebenarnya, dia ingin sekali melupakan cita – cita sebagai pianis yang terkenal sampai ke Internasional tetapi hatinya tidak bisa. Suara hatinya pun menyuruhnya berlari ke tempat dimana asal suara piano tersebut. Hana merasa kakinya bergerak sendiri, dia pun mulai berlari menuju rumah dekat jembatan itu. Dion yang berada di sebelah Hana kaget, “ Hana, tunggu!”
Hana pun berhenti di depan rumah kayu yang desainnya sangat minimalis. Dia terpaku mendengar permainan piano gadis kecil di depan teras rumah itu. Indah. Menawan. Banyak kata yang tak bisa diungkapkan dari suara piano yang dia mainkan sekarang itu. Tiba – tiba suara piano itu berhenti, dan terdengar suara manis,
“bukannya kau kak Hana?” tanya gadis kecil itu. Gadis kecil itu melihat muka Hana lebih dekat lagi.
“ya, ya kau pasti kak Hana Gensha, pianis yang sudah melakukan konser mini di Balai Sarbini itu, kak Hana yang aku idolakan selama ini. Wah… tak kusangka kakak ada disini, mendengar suara pianoku. Halo kak, namaku Karla, aku kelas 5 SD.” kata gadis kecil yang bernama Karla itu. “ibu, ibu lihat ada kak Hana disini. Ayo cepat kesini.”
Dion akhirnya sampai di rumah Karla dengan napas yang terengah – engah.
“Hana, kau ini tidak…” Sebelum Dion menyelesaikan omongannya Hana segera berlari lagi. Saat itu Dion melihat mata Hana mengeluarkan butir – butir air dari matanya, dia bertanya dalam hati apa Hana sedang menangis, baru kali ini dia melihat Hana menangis. Ibu Karla yang tadi dipanggil pun sudah datang dari dalam rumah.
“mana Kar, Hana yang kau idolakan itu?” tanya Ibu Karla.
“baru saja dia berlari bu. Aku sangat senang melihatnya. Ternyata dia sangat cantik kalau dilihat secara langsung daripada melihatnya di tv.” jawab Karla.
“maaf ya bu, dia memang begitu. Dia punya masa lalu yang buruk dengan piano.” Kata Dion sambil memohon maaf.
“hah, kok aku baru tahu kak Hana punya masa lalu yang buruk? Padahal aku selalu mencari berita tentang dia di internet. Itu berarti aku bukan fans nomor satunya, dong.” kata Karla, setelah Dion menceritakan kejadian yang di alami Hana satu bulan yang lalu.
“mukamu jangan cemberut seperti itu, dong.” Kata Dion sambil mengusap rambut Karla. Saat itu mereka sedang duduk di teras rumah Karla,
“sebaiknya aku mencari Hana, aku takut sesuatu terjadi padanya.” Kata Dion
“sepertinya, kak Dion sangat mengkhawatirkan kak Hana. Kakak suka, ya sama kak Hana?” tanya Karla.
“huss… anak kecil kok, udah tau suka – sukaan. Maaf ya, nak Dion. Ya, sudah kamu segera cari Hana.
“Iya bu, saya pamit dulu. Dah, Karla.”
***
Hana berdiri diatas gunung dan memandangi pemandangan yang tak bisa dilihatnya di Jakarta itu. Dia melihat kebawah dengan wajah ragu – ragu dan berpikir, apakah aku harus melakukan ini atau tidak? Aku benar – benar merasa bersalah. Aku adalah anak yang egois, hanya memikirkan diri sendiri, sehingga membuat Ayahku harus mengorbankan nyawanya hanya demi sebuah buku lagu yang sangat tidak penting itu? Dasar buku sampah. Ayah sudah mengorbankan nyawanya, sebaiknya aku juga harus mengorbankan nyawaku ini. Sebelum Hana melompat tiba – tiba saja dari belakangnya sudah ada orang yang menariknya , “apakah kau bodoh? Kau ingin taman rahasia yang sudah membuatku senang ini menjadi tempat yang membuatku sedih karena dirimu?” kata Dion, Hana tak pernah melihat Dion semarah itu. Hana memang pernah dimarahi oleh Dion karena masuk kekamarnya tanpa izin, tapi kali ini Hana bingung kenapa Dion bisa semarah itu.
“kenapa kau mencegahku? Tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku hanya bisa menyusahkan kau, Bibi Anti, dan Ibuku. Lagipula aku ini bukan siapa – siapamu? Jadi kau tak perlu semarah itu.” teriak Hana.
“BODOH. Dasar bodoh. Kau tanya kenapa? Tentu saja… tentu saja karena aku… aku cinta sama kamu.” jawab Dion lirih.
Mendengar hal itu, Hana terduduk dan menangis sejadi – jadinya.
“seharusnya aku yang berkata bodoh kepadamu.”
“sudahlah, sebaiknya kita pulang saja. Hari sudah tambah panas.” kata Dion mengajak Hana pulang. Mereka pun pulang dan Bibi Anti menyambut mereka dengan muka bingung karena Dion dan Hana terus berpegangan tangan.
***
Semenjak kejadian itu, Hana dan Dion selalu bersama, teman – teman SMA-nya banyak yang bertanya – tanya tentang hubungan mereka, karena jika mereka ditanya apakah kalian pacaran mereka akan menjawab tidak tahu. Libur semester telah tiba, Dion, Bibi Anti dan Hana pergi ke Jakarta. Tujuan utama Hana adalah berziarah ke makam ayahnya.
Dion dan Hana pun pergi ke Makam ayah Hana. Mereka pun menaburkan bunga diatas makam tersebut dan berdoa. Saat Hana berdoa dia merasa ada seseorang yang membisiki telinganya. Hana jangan bersedih terus. Ayah! Muka Hana pucat seketika. Ayah juga akan ikut sedih. Jangan menghapus impianmu juga sebagai pianis, kalau kamu menghapusnya Ayah tidak akan tenang di Sini.
“Ayah?” kata Hana.
“ada apa, Han?” tanya Dion
Hana menatap muka Dion dan tersenyum, “bukan apa – apa, kok. Ayo pulang.”
“senyummu manis sekali, penghuni – penghuni disini bakal suka sama kamu nanti kalau senyumannya kayak gitu.” kata Dion.
“ihhh… serem. Udah ah.” kata Hana sambil pura – pura merinding
Mereka pun pulang.
***
“terima kasih kepada Bapak Kepala Sekolah SMA 135, Bapak-Ibu guru yang sudah membimbing kami hingga lulus, orang tua kami yang selalu mendukung kami, dan juga adik – adik kelas yang selalu kami cintai dan banggakan. Akhir kata saya ucapkan mohon maaf jika ada salah kata dan terima kasih. Selamat Pagi.” Kata Beni, anak kelas XII IPA 1 yang terpilih sebagai siswa teladan tahun ini.
“ya itulah kata sambutan dari Kakak kelas XII beri tepuk tangan. Sekarang kita akan mendengarkan persembahan dari Hana Gensha dengan teman Duetnya, Karla! Beri tepuk tangan yang meriah!” kata pembawa acaranya. Semua orang bertepuk tangan. Hana dan Karla pun naik ke atas panggung. Ting ting ting. Terdengar lagu “Chopin: Wailz in D-flat major, Op. 64 No. 3” dengan merdunya.
Read More...
separador

Akhir Pawai Pembangunan 2010

Huaaaaa hari ini benar-benar hari yg berat tapi menyenangkan. Kenapa? Coz ada pawai yang diadakan 4 tahun sekali dengan tema kebudayaan Indonesia. Aku harus rela menonton pawai tersebut dengan cuaca yang benar-benar terik hingga bajuku basah oleh keringat. Sayangnya, aku tidak melhat barisan sekolah ku, SMA 1 Tarakan. Nope. Setelah menonton pawai, aku menunggu tari untuk ke Gramedia, yang pasti buat beli buku baik novel maupun komik atau mungkin sesuatu yang lain. Maklum tagihan hp sudah lunas, jadi bisa boros lah, hehe.
Aku menunggu Tari dengan sangat lama karna dia harus menjemput Nilam dulu. Selain menunggu Tari, aku jga menunggu Mbak Mar. Selama aku menunggu, aku melihat-lihat sekitar. Guess what, bagaimana kotornya halaman depan GTM. Seperti kebiasaan setiap tahun, setelah selesai pawai atau kegiatan yang melibatkan seantero masyarakat Tarakan pasti sampah akan bertebaran dengan riangnya di jalan maupun gedung-gedung sekitar. Ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat tentang kebersihan masihlah sangat minim. Aku melihat tempat sampah disekitar, ternyata semua tempat sampah pun penuh dengan sampah-sampah dari warga. Berarti pemerintah harus menambah tempat sampah di berbagai tempat di Tarakan. Selain itu, peran pemerintah yang lain adalah melakukan sosialisasi tentang kebersihan lingkungan untuk menciptakan masyarakat yang sehat. Ujung-ujung yang membersihkan semua sampah itu adalah para penyapu jalan yang sudah bekerja pada subuh hari, tapi mereka harus bekerja lagi pada siang harinya. Ckckc nasib mereka.
Setelah menunggu lama Tari dan Nilam pun datang, kami sepakat menunggu mbak Mar di Gramedia . Aku mencari novel yang layak untuk dibaca pada usiaku yang 15 tahun di tanggal 19 Desember mendatang. Banyak sekali novel yang bagus, tapi aku sudah mengidamkan untuk membeli novel "Impian Hatiku" kalo gak salah judulnya. Temanya kisah cinta yang inspiratif, cih. Aku sebenarnya tidak "wah" dengan kata yang berisi huruf c, I, n, t, dan a itu. Tapi ini buku ini ingin memberikan inspirasi, jadi kenapa tidak dibaca. Lagipula aku bukan orang yang plin plan dalam membaca buku. Apa aja yang penting asyik deh. Akhirnya mbak Mar datang. Dia ini orang yang suka banget dengan novel - novel berat. Jadi aku berpikir, pasti orangnya dewasa nih. Tapi ternyata nggak sama sekali, walau umurnya sudah 16 tahun, di dalam dirinya masih ada sikap manja. Aku dan mbak Mar sering berbagi baik itu novel, komik, majalah, lagu, dan foto-foto gokil. Aku dan dia suka sama Harry Potter, jadi aku sering cerita tentang Harry Potter sama dia. Aku dan dia suka baca novel jadi kami sering pinjam-meminjamkan. Aku dan dia suka komik Detektif Conan jadi kami sering berbagi cerita tentang Conan. Itu semua benar-benar seru. Tapi kalau masalah lagu, aku lebih suka semua lagu K-POP dan David Archuleta kalau dia cuma suka Shinee dan semua lagu inggris.
Selain melihat buku kami juga melihat kaset film, dan aku masih tergiur dengan kaset film "Inception" dan "The Socrates of blah blah" *aku lupa judulnya. Kedua film ini memiliki persamaan genre yaitu fantasi dan action, hanya saja yang satu actionnya terlalu berat yang satu nggak terlalu. Yang bikin ngebet aku pengen beli Inception tuh karena jalan cerita dan animasinya benar-benar menakjubkan. Wow sekali. Sedang The Socrates of blah blah, karena bercerita tentang sihir dan kau tahu aku sangat menyukai sesuatu yang bersifat sihir. Film - film itu benar-benar membuatku penasaran.
Sudah larut malam sebaiknya aku tidur. Annyeong!
Read More...
separador

Sabtu, 29 Januari 2011

A list of Korea’s Ulzzang Idols revealed!


Ulzzang itu apa sih?? Artinya seseorang dengan penampilan yang baik atau good looking gitu… Nah, jadi siapakah Korea’s Ulzzang Idols? Ini dia ::

1. Ku Hye Sun [Actress]
2. Nam Sang-mi [Actress]
3. Park Han-byul [Actress]
4. Kang Eun-bi [Actress]
5. Kim Hye Sung [Actor]
6. Kim Jung Eun [Kimchi Kids]
7. Krystal [F(x)]
8. YoonA [SNSD]
9. Hara [Kara]
10. Hyomin [T-Ara]
11. Lee Seung Hyun [F.Cuz]
12. Choi Jonghun [FT Island]
13. Heo Young Saeng [SS501]
14. Ryeowook [Super Junior]
15. Park Yun Hwa [T-Max]
16. Yunho [TVXQ]
17. Lee Kiseop [U-Kiss]
18. Lee Jooyeon [After School]
19. Q-Ri [T-Ara]


Credits: kissmeukiss + ????13? @ baidu + iRyeowookELF @ wordpress + sup3rjunior.com

vvia@dkpopnews

Read More...
separador

Visitor

Pages